Subscribe
Add to Technorati Favourites
Add to del.icio.us
Minggu, 07 Maret 2010
Diposting oleh Adalah Komunitas Belajar

Tidak Ada Lagi Pengiriman SPT Tahunan

spt-tahunanBiasanya Direktorat Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak setiap tahunnya mengirimkan formulir SPT Tahunan lengkap dengan buku petunjuk pengisiannya kepada setiap Wajib Pajak yang terdaftar. Pengiriman biasa dilakukan dengan menggunakan jasa pos dengan mengambil alamat dari masterfile Wajib Pajak.

Nah, karena kebiasaan ini sudah lama berlangsung, ada semacam opini yang berkembang di kalangan Wajib Pajak, terutama Wajib Pajak Orang Pribadi, bahwa seolah-olah formulir SPT yang diterimanya menunjukkan kewajiban penyampaian SPT. Akibat ini kadang banyak Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak menerimanya beranggapan dia sudah tidak Wajib SPT Tahunan. Sebaliknya, ada orang yang menerima formulir SPT Tahunan protes kepada petugas pajak, kenapa dia dikirimi SPT Tahunan, padahal dia tidak berNPWP atau sudah tidak punya usaha lagi.

Nah, sebenarnya pengiriman formulir SPT Tahunan kepada para Wajib Pajak hanya sekedar upaya dari Ditjen Pajak untuk memberikan pelayanan kepada Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak usaha repot-repot mencari formulir SPT Tahunan. Dalam prakteknya, kadang-kadang pengiriman formulir SPT ini tidak mencapai sasaran yang diakibatkan data alamat WP sudah tidak update lagi sehingga timbullah ada Wajib Pajak aktif yang tidak dikirimi SPT dan ada SPT dikirim ke alamat yang salah.

Kewajiban Wajib Pajak Untuk Mengambil Sendiri

Kalau kita tengok ketentuan tentang pengambilan SPT, maka sebenarnya dari dulu tidak ada kewajiban Ditjen Pajak untuk mengirim formulir SPT kepada Wajib Pajak. Yang ada adalah Wajib Pajak mengambil sendiri formulir SPT, baik masa maupun tahunan, ke tempat-tempat tertentu yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak. Penegasan hal ini bisa dilihat di Pasal 3 ayat (2) UU KUP dan Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.03/2007.

Nah, terkait dengan ketentuan di atas, untuk SPT Tahunan 2009 Dirjen Pajak berencana tidak akan lagi mengirimkan formulir SPT Tahunan kepada masing-masing Wajib Pajak seperti tahun-tahun lalu. Jadi, Wajib Pajak harus mengambil sendiri formulir SPT Tahunan di tempat-tempat yang telah ditentukan seperti di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan Kantor Penyuluhan, Pelayanan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP). Formulir SPT juga bisa diperoleh di pojok pajak, mobil pajak atau di situs resmi DJP di www.pajak.go.id.

Nah, bagi Anda yang tidak menerima SPT Tahunan lagi tahun ini, jangan kaget. Dan yang perlu digarisbawahi adalah bahwa tidak dikirimnya SPT kepada Anda bukan berarti Anda tidak wajib menyampaikan SPT Tahunan. Bagi Anda yang terbiasa dengan dunia maya, jangan khawatir banyak situs dan blog yang menyediakan formulir softcopy formulir SPT Tahunan untuk diunduh. Termasuk di blog ini, Anda bisa mengunduh atau men download formulir SPT Tahunan 2009 di link berikut ini.

SPT Tahunan PPh Badan 1771
SPT Tahunan PPh OP 1770
SPT Tahunan PPh OP 1770 S
SPT Tahunan PPh OP 1770 SS

AddThis

Pajak Penghasilan Bagi Petugas Dinas Luar Asuransi dan Distributor MLM / Direct Selling

mlmBaru-baru ini terbit Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-100/PJ/2009 tanggal 12 Oktober 2009 tentang Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto Bagi Petugas Dinas Luar Asuransi dan Distributor Perusahaan Multilevel Marketing atau Direct Selling. SE ini menjawab keraguan dan kesimpangsiuran selama ini tentang bagaimana cara melaporkan penghasilan seorang petugas dinas luar asuransi atau distributor MLM dalam SPT Tahunannya. Apakah mereka bisa menggunakan norma perhitungan atau tidak serta digolongkan sebagai penghasilan jenis apa di SPT Tahunan, apakah penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas, penghasilan dari pekerjaan, atau penghasilan lain-lain.

Sebelum terbitnya SE ini saya berpendapat bahwa penghitungan PPh untuk petugas dinas luar asuransi dan distributor MLM ini adalah dengan memasukkannya dalam jenis penghasilan lain-lain dalam SPT Tahunan dengan pertimbangan bahwa jenis penghasilan ini tidak sama dengan penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas tetapi bukan pula penghasilan dari pekerjaan. Adapun biaya – biaya terkait dengan penghasilan ini bisa dikurangkan dan PPh Pasal 21 yang telah dipotong oleh perusahaan asuransi atau perusahaan MLM dapat dikreditkan.

Berdasarkan SE-100/PJ/2009 ini, beberapa hal ditegaskan terkait dengan cara penghitungan Pajak Penghasilan bagi petugas dinas luar asuransi dan distributor MLM atau direct selling :

a. Wajib Pajak Orang Pribadi yang berprofesi sebagai petugas dinas luar asuransi, distributor perusahaan MLM atau Direct Selling termasuk dalam katagori WP orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas sepanjang tidak berstatus sebagai pegawai dari perusahaan terkait.

b. Dengan demikian, WP orang pribadi di atas boleh menghitung penghasilan neto dengan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sepanjang peredaran bruto dalam satu tahun kurang dari Rp4,8 Milyar dengan syarat memberitahukan kepada Dirjen Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.

c. Dalam menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, petugas dinas luar asuransi diklasifikasikan sebagai jenis usaha “Pekerjaan bebas bidang usaha lainnya” dengan persentase norma 50%, 47,5% atau 45% sesuai lokasi usahanya.

d. Dalam menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, distributor MLM atau direct selling diklasifikasikan sebagai jenis usaha “Perdagangan eceran barang-barang hasil industri pengolahan” atas penghasilan dari penjualan barang dari perusahaan MLM/Direct Selling. Persentase normanya adalah 30%, 25% atau 20% tergantung lokasi usahanya. Adapun penghasilan dari pengembangan jaringan usaha MLM atau direct selling diklasifikasikan dalam jenis usaha “Pekerjaan bebas bidang usaha lainnya” yang berarti sama dengan klasifikasi untuk petugas dinas luar asuransi.

Pemotongan PPh Pasal 21

Pada tanggal yang sama dengan terbitnya SE-100/PJ/2009 ini, diterbitkan pula Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-57/PJ/2009 yang mengatur kembali cara memotong PPh Pasal 21 bagi bukan pegawai. Nah, salah satu jenis penerima penghasilan yang bukan pegawai ini adalah petugas dinas luar asuransi, dan distributor MLM atau direct selling.

Pada intinya PER-57/PJ/2009 ini memberikan dasar pengenaan sebesar 50% saja dari penghasilan bruto bagi kelompok bukan pegawai. Dengan demikian sebenarnya yang menikmati dasar pengenaan 50% ini bukan hanya petugas dinas luar asuransi dan distributor MLM/direct selling saja. Namun dengan terbitnya SE-100/PJ/2009 ini saya menangkap kesan, bahwa tujuan utana terbitnya PER-57/PJ/2009 ini adalah terutama ditujukan untuk petugas dinas luar asuransi dan distributor MLM/direct selling.

Perbedaan sifat berkesinambungan atau tidak akan menentukan apakah tarif dikenakan secara kumulatif atau tidak dalam tahun kalender. Kepemilikan NPWP dan kondisi apakah ada penghasililan lain akan menentukan apakah terhadap penerima penghasilan diberikan pengurangan PTKP atau tidak.

Nah, nampaknya hampir semua petugas dinas luar asuransi, distributor MLM atau direct selling masuk ke dalam jenis penerima penghasilan bukan pegawai yang bersifat berkesinambungan.

Perhitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan ini adalah dengan mengenakan tarif Pasal 17 untuk WP Orang Pribadi terhadap kumulatif Penghasilan Kena Pajak dalam satu tahun kalender. Penghasilan Kena Pajak adalah 50% Penghasilan Bruto dikurangi PTKP). Dengan demikian, kalau dijabarkan dalam bentuk rumus sederhana maka perhitungannya adalah sebagai berikut :

PPh Pasal 21 = Tarif Pasal 17 x kumulatif (50% Pengh. Bruto – PTKP)

Namun demikian, pengurangan PTKP di atas bisa dilakukan jika penerima penghasilan memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 13 ayat (1) PER-31/PJ/2009, yaitu telah mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 serta tidak memperoleh penghasilan lainnya.

Jika tidak memenuhi syarat di atas, maka perhitungannya menjadi :

PPh Pasal 21 = Tarif Pasal 17 x kumulatif 50% Pengh. Bruto

, , , ,


Pajak Penghasilan Atas Kegiatan Usaha Berbasis Syariah

syariahKegiatan usaha berbasis syariah terus tumbuh di Indonesia yang ditandai dengan berdirinya perusahaan-perusahaan keuangan yang menggunakan prinsip-prinsip syariah. Perusahaan-perusahaan keuangan ini berupa bank-bank syariah, bank perkreditan syariah, serta asuransi syariah. Perusahaan berbasis syariah ini berbeda dengan perusahaan sejenis yang konvensional dalam hal cara melakukan transaksi di mana perusahaan-perusahaan syariah mendasarkan pada prinsip-prinsip syariah Islam seperti prinsip kehalalan, kemaslahatan bersama, mengindari spekulasi, serta menghindari riba.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas tentang kelebihan atau kekurangan kegiatan usaha berbasis syariah, tetapi lebih kepada memotret kegiatan usaha berbasis syariah dari sudut pandang ketentuan pajak sebagai konsekuensi dari merebaknya kegiatan usaha berbasis syariah dalam masyarakat Indonesia.

Kegiatan Usaha Berbasis Syariah Dalam Undang-undang Pajak Penghasilan

Sebelum terbitnya Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008, kegiatan usaha berbasis syariah praktis tidak disebut sama sekali dalam Undang-undang Pajak Penghasilan. Pada sisi lain, sejak berdirinya Bank Muamalat sebagai bank yang berbasis syariah pertama kali di Indonesia pada awal tahun sembilan puluhan, kegiatan usaha berbasis syariah terus tumbuh ditandai dengan berdirinya bank-bank syariah lainnya, bank perkreditan rakyat syariah, unit-unit syariah dari bank konvensional, serta perusahaan asuransi syariah.

Kini seiring dengan makin akrabnya istilah syari’ah terutana dalam bidang keuangan di tengah masyarakat, para perumus Undang-undang perpajakanpun berusaha untuk memasukkan kegiatan usaha berbasis syariah dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 memasukkan penghasilan dari kegiatan usaha berbasis syariah sebagai objek pajak dalam Pasal 4 ayat (1) huruf q. Dimasukkannya jenis penghasilan ini sebagai bagian dari objek Pajak Penghasilan didasarkan pada pemikiran bahwa perlunya ada perlakuan yang sama antara usaha berbasis syariah dengan usaha lain yang sejenis.

Kemudian, Pasal 31D Undang-undang Pajak Penghasilan juga menegaskan bahwa ketentuan perpajakan tentang bidang usaha berbasis syariah ini diatur dengan Peraturan Pemerintah. Adapun Peraturan Pemerintah yang dimaksud sudah diterbitkan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2009 tanggal 3 Maret 2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Bermbasis Syariah. Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak 1 Januari 2009, sama dengan mulai berlakunya Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.

Transaksi Konvensional vs Transaksi Syariah

Untuk menggambarkan perbedaan transaski konvensional dengan transaksi syariah, berikut saya copy paragraf-paragraf dari penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2009.

Dibandingkan dengan transaksi berdasarkan sistem konvensional yang telah dikenal, terdapat perbedaan antara transaksi berdasarkan prinsip syariah dengan transaksi yang dilakukan berdasarkan sistem konvensional tersebut. Perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya prinsip tertentu yang harus diperhatikan oleh Usaha Berbasis Syariah dalam melaksanakan kegiatan usahanya, yaitu : kehalalan produk, kemaslahatan bersama, menghindari spekulasi, dan riba. Terkait dengan prinsip menghindari riba, kegiatan pemberian pinjaman yang dilakukan oleh jasa keuangan dengan mengenakan tingkatbunga tertentu tidak dapat dilakukan oleh usaha berbasis syariah. Kegiatan tersebut, dalam Usaha Berbasis Syariah dilakukan melalui beberapa pendekatan antara lain:

a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;

b. transaksi jual beli dalam bentuk murabahah, salam, dan istisna;

c. transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik; dan

d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk qardh;

Berdasarkan kesepakatan antara pihak yang bertransaksi, dana akan dikembalikan setelah jangka waktu tertentu dengan memberikan imbalan, tanpa imbalan, atau bagi hasil.

Perbedaan antara transaksi berdasarkan prinsip syariah dengan transaksi berdasarkan sistem konvensional tersebut akan mengakibatkan beberapa implikasi. Perbedaan tersebut menyebabkan perlakuan perpajakan yang berbeda dalam suatu industri yang sama, yaitu untuk kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan kegiatan usaha berdasarkan sistem konvensional. Dengan perlakuan yang berbeda tersebut, maka perlakuan perpajakan menjadi tidak netral bagi para pihak yang terlibat untuk menentukan pilihan apakah menggunakan transaksi berdasarkan prinsip syariah atau berdasarkan sistem konvensional. Implikasi berikutnya terkait dengan kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaan bagi kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah tertentu, apabila ketentuan Pajak Penghasilan yang berlaku umum diterapkan atas transaksi syariah yang mendasari kegiatan usaha tersebut.

Prinsip Mutatis Mutandis

Pasal 3 PP Nomor 25 Tahun 2009 ini memperkenalkan istilah mutatis mutandis. Berdasarkan penjelasannya, pemberlakuan secara mutatis mutandis dimaksudkan bahwa ketentuan perpajakan yang berlaku umum berlaku pula untuk kegiatan Usaha Berbasis Syariah.

Contoh, perlakuan perpajakan mengenai bunga berlaku pula untuk imbalan atas penggunaan dana pihak ketiga yang tidak termasuk dalam kategori modal perusahaan. Imbalan tersebut dapat berupa hak pihak ketiga atas bagi hasil, margin, atau bonus, sesuai dengan pendekatan transaksi syariah yang digunakan.

Pada ketentuan perpajakan secara umum, bunga merupakan penghasilan bagi pihak penerima dan merupakan pengurang penghasilan bagi pihak pembayar.

Berkenaan dengan kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan, pihak pembayar wajib memotong Pajak Penghasilan atas bunga yang dibayarkan. Pemotongan tersebut dapat dilakukan sesuai dengan Pasal 4 ayat (2), Pasal 23, dan/atau Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan sesuai dengan transaksi dan lembaga yang bertransaksi. Perlakuan perpajakan tersebut juga berlaku terhadap hak pihak ketiga atas bagi hasil, margin, atau bonus yang timbul dari penggunaan dana pihak ketiga yang tidak termasuk dalam kategori modal perusahaan, sesuai dengan transaksi dan lembaga yang bertransaksi.

Nah, dengan menggunakan prinsip mutatis mutandis ini maka perlakuan Pajak Penghasilan akan sama dan netral antara kegiatan usaha konvensional dan kegiatan usaha berbasis syariah. Dengan demikian, perlakuan Pajak Penghasilan tidak bersifat distortif serta akan memberikan perlakuan yang sama (level playing field) bagi Wajib Pajak dalam suatu industri yang sama.

Ketentuan Pelaksanaan

PP Nomor 25 Tahun 2009 ini, sesuai Pasal 4, ketentuan pelaksanaannya akan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Tentu saja ketentuan pelaksanaannya, yang sampai saat tulisan ini dibuat belum terbit, akan dijiwai oleh prinsip mutatis mutandis yang merupakan inti dari PP ini.

, , ,


PPh Pasal 21 Atas Bukan Pegawai (Berdasarkan PER-57/PJ/2009)

hitung-pajakPada tanggal 12 Oktober 2009, Dirjen Pajak mengeluarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-57/PJ/2009. Peraturan Dirjen ini mengamandemen PER-31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tatacara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi.
Ketentuan yang diubah adalah Pasal 9 huruf a angka 4, dan huruf c, Pasal 10 ayat (2) huruf c dan ayat (5) serta Pasal 16. Pada intinya, perubahan ketentuan ini adalah mengubah struktur perhitungan PPh Pasal 21 bagi golongan penerima penghasilan bukan pegawai.

Penerima Penghasilan Bukan Pegawai
Berdasarkan Pasal 3 PER-31/PJ/2009, terdapat empat golongan penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 yaitu :

  1. Pegawai,
  2. penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya,
  3. Bukan pegawai, dan
  4. peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan.

Penerima penghasilan bukan pegawai terdiri dari :

  1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
  2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
  3. olahragawan
  4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
  5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
  6. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
  7. agen iklan;
  8. pengawas atau pengelola proyek;
  9. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
  10. petugas penjaja barang dagangan;
  11. petugas dinas luar asuransi;
  12. distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya;

Bersifat Berkesinambungan vs Tidak Berkesinambungan
Imbalan kepada bukan pegawai adalah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang terutang atau diberikan kepada bukan pegawai sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan penghasilan sejenis lainnya. Pada dasarnya imbalan kepada bukan pegawai dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan sifatnya yaitu imbalan yang bersifat berkesimbungan dan imbalan yang bersifat tidak berkesimabungan.
Imbalan kepada bukan pegawai yang bersifat berkesinambungan adalah imbalan kepada bukan pegawai dengan karakteristik dibayar atau terutang lebih dari satu kali dalam satu tahun kalender.
Perbedaan sifat ini akan membedakan cara perhitungan PPh Pasal 21 yang terutang.

Penghasilan Bukan Pegawai Yang Bersifat Berkesinambungan
Perhitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan ini adalah dengan mengenakan tarif Pasal 17 untuk WP Orang Pribadi terhadap kumulatif Penghasilan Kena Pajak dalam satu tahun kalender. Penghasilan Kena Pajak adalah 50% Penghasilan Bruto dikurangi PTKP). Dengan demikian, kalau dijabarkan dalam bentuk rumus sederhana maka perhitungannya adalah sebagai berikut :

PPh Pasal 21 = Tarif Pasal 17 x kumulatif (50% Pengh. Bruto – PTKP)

Namun demikian, pengurangan PTKP di atas bisa dilakukan jika penerima penghasilan memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 13 ayat (1) PER-31/PJ/2009, yaitu telah mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 serta tidak memperoleh penghasilan lainnya.
Jika tidak memenuhi syarat di atas, maka perhitungannya menjadi :

PPh Pasal 21 = Tarif Pasal 17 x kumulatif 50% Pengh. Bruto

Penghasilan Bukan Pegawai Yang Bersifat Tidak Berkesinambungan
Jika imbalan kepada bukan pegawai sifatnya tidak berkesinambungan, maka perhitungan PPh Pasal 21 nya adalah dengan mengenakan tarif Pasal 17 untuk WP Orang Pribadi terhadap 50% penghasilan bruto.

Perbandingan Dengan PER-31/PJ/2009
Bila dibandingkan, ketentuan baru dalam PER-57/PJ/2009 yang merubah beberapa ketentuan dalam PER-31/PJ/2009 pada dasarnya adalah bahwa dengan PER-57/PJ/2009 ini semua penerima penghasilan bukan pegawai mendapatkan ’perkiraan penghasilan neto’ sebesar 50% dari penghasilan bruto. PER-31/PJ/2009 hanya memberikannya kepada tenaga ahli saja.
Ketentuan baru ini mulai berlaku sejak 1 Januari 2009. Dengan demikian, PPh Pasal 21 atas bukan pegawai selain tanaga ahli yang sudah dilakukan dipastikan telah dipotong dan dibayar lebih besar. Untuk itu, nampaknya Pemotong PPh Pasal 21 harus melakukan pembetulan SPT dan mengkompensasikan kelebihannya ke masa September atau Oktober 2009 ini.

0 komentar:

Posting Komentar